Welcome to Wonderland!

A compilation of wonders where things might be found upside down. Feel free to do and say anything out of the ordinary. Wish you a safe journey back into reality after reading all these.

Rabu, 24 November 2021

Di langit yang gelap, awan menggantung.

Berat dengan air dan gejolak guntur

Akhirnya ia pun meluruh

 

Hujan turun menetes-netes

Makin lama semakin deras, membisukan segala

Dengan sambaran kilat dan geluduk


Awan pun menghilang

Kembali kepada sungai, danau, dan samudra

Meresap ke dalam tanah


Dan langit pun terang

Kamis, 18 November 2021

sleeptalking

mengapa langit begitu biru, bahkan saat ia gelap, dihiasi bintang

di balik merah dan oranye biru tetap menawan


di sebuah tebing, satu langkah menuju udara

sedikit lagi aku bisa terjun bebas, terbang pergi dengan sayap

yang kubuat dari rangkaian daun yang berguguran

airmataku adalah ledakan yang akan melontarkanku jauh,

jauh tinggi

mungkin pula aku akan dapat meninggalkan bimasakti,

dan bertemu mawar berduri.

aku akan melintas kembali ke bumi


dan kembali

kepada pemandangan biru yang sudah kurindu

bila memang takdirnya begitu

judul yang cheesy tapi aku jatuh cinta lagi

 Iya, kamu nggak salah baca.

Benar, aku jatuh cinta. Lagi, dengan orang yang sama, seperti dahulu kala.

Tapi, padahal mau nulis, tiba-tiba aja semua kata-kataku menghilang.


Hehe, gapapadeh cheesy cuman di sini aja.

Aku cuma pingin bersyukur, mungkin di masa depan baca post ini lagi sambil senyum. 

Buat orang yang mampu bikin aku merasa hidup ini layak dijalani dan ditunggu-tunggu. Yang bisa bikin aku merasa semua bisa dilalui dan aku nggak akan sendirian.

Apapun yg terjadi, semoga dia selalu bahagia, diberkahi, dicintai Allah.

Aaamiiiin.

hidup berjalan tak peduli setan

 Halo, cukup lama aku nggak nulis apa-apa di blog ini. Di blog yang pembacanya mungkin cuma diriku, dan orang-orang yang mungkin entah nyasar atau diam2 masih jadi pembacanya. Entahlah, diari online yang aneh.

Semenjak terakhir aku menulis mengenai saudara-saudaraku, banyak yang terjadi.

Pertama, ayah dan kakak tertuaku meninggal.

Saat itu aku sedang terdiagnosa COVID-19, dengan indra pembau yang sedang tumpul dan demam tinggi. Tengah malam aku mendengar kabar itu, berturut-turut berjarak dua hari.

Rasanya aneh, saat itu. Bagaikan mendengar kabar seseorang yang begitu jauh. 

Bapak yang hanya kukunjungi dua hingga empat minggu sekali.

Dan kakak yang sudah tidak pernah menyapaku semenjak dua tahun terakhir.

Mereka pergi, namun rasanya tidak nyata. Sungguh aneh sekali. Aku masih menyimpan begitu banyak emosi dan pertanyaan. Mungkin kemarahan. Namun tiba-tiba semua itu menguap begitu saja. Hampa. Datar. Bahkan tidak begitu sedih. Aku hanya bingung. Apa yang harus kurasakan? Apa yang harus kulakukan?

Kemana semua perasaan ini harus kuarahkan?

Duka tidak datang begitu saja. Namun ternyata ia berupa cicilan.

Begitu banyak yang sudah pergi meninggalkanku. Selain mereka, ada juga kakek-kakek dan nenek-nenek yang dulu turut merawatku sejak kecil. Satu persatu pergi dan aku cukup lambat juga memprosesnya.

Namun kadang tanpa aba-aba, aku mendengar cerita tentang mereka. Bagaimana bisa aku mengenal mereka lebih jauh justru ketika mereka tiada? Cerita-cerita ini, sebelumnya ada dimana?

Di sudut-sudut tertentu kadang memori tiba-tiba saja menghampiri. Mengingatkan. Tiba-tiba saja aku mendongak dan seakan baru menyadari, kalau mereka tidak ada lagi di tempat dimana dulu aku biasa menemukan mereka.

Aku tidak siap, aku takut, aku pasrah.

Semua orang pasti pergi, aku tahu. Tapi... kuharap aku bisa menyampaikan rasa sayangku kepada mereka, kuharap mereka bisa tahu aku sayang mereka.

Kuharap aku bisa membantu mereka bahkan setelah mereka tiada.

Meski hanya sekedar sebuah alfatihah.

Kuharap aku bisa membalas semua yang sudah mereka berikan kepadaku.

Amin, amin.


Lho, aku juga kaget. Kenapa postingan ini berubah jadi postingan duka, ya?



Dengerin Everglow yuk sambil mengenang orang2 baik di hidup kita

Selasa, 11 Mei 2021

tentang saudara-saudaraku

 Aku tidak memiliki banyak memori mengenai keluarga sedarahku dulu. Rasanya semenjak aku sudah mulai bisa mengingat, semua sudah di ujung batas kehancuran.

Ya begitulah hidupku berlangsung hingga sekarang, menyaksikan keluarga yang tak pernah utuh.

Rasanya semenjak aku dibawa pergi ibuku pada usia 3 tahun ke antah berantah, berpisah dengan semuanya, aku hanya pernah merasakan berkumpul dengan ketiga saudaraku kurang dari 5 kali.

Pertama, waktu kakakku secara ajaib dulu mau berbaikan dengan ibuku. Waktu itu ibuku membuka warung bakso dan kami makan bersama. Rasanya aku senang sekali hingga aku ingin menangis.

Kedua, waktu itu kakakku mengajak kami bertiga bertemu dengan bapak kandung dan ibu tiriku dan makan bersama di sebuah restoran.

Ketiga, waktu kakakku yang pertama menikah (untuk kedua kalinya). Waktu itu, kami foto berempat, untuk pertama dan terakhir kalinya.

Keempat, beberapa saat setelah pernikahan kakakku, kami berlibur di sebuah agrowisata bersama.


Ya. Mungkin hanya itu saja.

--

Bagiku kakakku lebih dari sekedar kakak. Kakak pertamaku juga adalah orang tua ketiga? atau keempat, ya? bagiku.
Ia mendominasi beberapa tahun awal hidupku.

Harus merawat anak kecil di awal umur 20an, plus dengan keadaan yang penuh trauma dan amarah karena keadaan hancurnya keluarga, membuatnya tidak menjadi orang tua yang paling baik. Daridulu kakakku pemarah, dan kadang abusif. Emosinya meledak-ledak.

Namun aku tau ia sudah berusaha yang terbaik. 

Meski dia sudah memberiku banyak trauma... kesedihan terbesarku tetap karena kami, sekarang, sudah bagaikan orang asing. Entah sampai kapan.

Dan aku masih belum bisa menerima dia yang masih menganggapku bagai anak kecil tidak tahu apa-apa.

--

Kakak keduaku itu, bagaikan anak yang hilang.

Setelah keluarga kami porak poranda, ia kemana? Agaknya tidak ada yang tahu dan berusaha menggapainya.

Ia sudah banyak menderita, mencoba bertahan hidup sendirian untuk waktu selama itu. Aku pun hampir tidak punya memori tentang kakak keduaku.

Apa saja yang sudah dilaluinya? Bagaimana perasaannya?

Agaknya kami semua tidak begitu tahu...

Kami kurang menyayanginya... Menerimanya...

Namun semua terlambat. Ia yang sekarang... sudah tidak tergapai. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah menolongnya, semoga Allah memberiku kekuatan untuk menolongnya.

Semoga kakakku yang kedua ini tidak merasa begitu sendirian, hingga ia harus lari dari kenyataan dengan cara-cara yang menghancurkan dirinya.

--

Kakak ketigaku itu, adalah salah satu orang paling penyayang yang pernah ada.

Pekerja keras, dan rela berkorban. Seluruh hidupnya adalah untuk keluarga.

Aku tidak punya banyak memori mengenai saudaraku, namun aku memiliki satu memori soal kakak ketigaku. Waktu itu dia menangis, karena tidak kunjung paham pelajaran sekolah, bahkan setelah diajari kakak pertamaku sekian lama. Kakak pertamaku lalu emosi dan melempar buku kepadanya, lalu berlalu pergi.

Aku mendatanginya, lalu, entah memeluk atau memegang tangannya, aku lalu mulai menangis bersamanya.

Aku tidak tahu kenapa memori ini saja yang kuingat.

Semenjak orang tua kami lepas tangan dengan kami, kakak ketigaku selalu berperan sebagai pengasuhku, begitu sabar dan telaten mengurusku. Bahkan usianya baru menginjak belasan, namun dia memastikan aku makan teratur dan banyak, mandi dengan benar, berkuncir lucu. Saat menerima gaji pertamapun, ia pakai untuk membelikanku susu dan jajanan yang layak.

Kakak ketigaku mulutnya terdengar buas namun hatinya baik. Cengeng.

Saat ini pun ia menanggung banyak beban.

Semoga suatu saat, aku bisa meringankan bebannya. 

Sesegera mungkin.

--


Begitulah saudara-saudaraku. Sekali saja, aku ingin menulis untukmu.

Semoga kita bisa berkumpul lagi.

pikiran-pikiran aneh, mungkin juga gelap.

/warning : sedikit...sedih, depresif. tidak perlu dibaca bila kamu sedang sedih, mungkin.
ini adalah tulisan pengakuan, bahwa aku seorang pecundang, mungkin.

 

Akhir-akhir ini aku memikirkan tentang pemrosesan traumaku yang seakan tak kunjung usai.

Tadinya aku merasa cukup bahagia dengan semua yang ada. Cukup bahagia bisa hidup bernafas dan melihat dedaunan yang berputar di angin.

Namun sekarang aku sudah menginjak usia paruh abad. Di usia ini tekanan masyarakat semakin keras. Begitu kerasnya hingga aku merasa seakan aku adalah manusia yang gagal apabila aku tidak dapat menemukan pasangan dan lalu menikah seperti yang umumnya diharapkan.

Sejujurnya aku masih menganggap bahwa menikah atau tidak, bukanlah parameter kesuksesan. Lihatlah orang-orang hebat seperti Leonardo da Vinci maupun para sufi yang tidak menikah hingga akhir hayatnya, itu sama sekali tidak mengurangi nilai mereka sebagai manusia.

Namun, aku bukanlah orang sehebat mereka. Aku tidak berdedikasi maupun memiliki iman yang kuat.

Aku hanya seorang yang biasa saja, namun merasa agak tak sanggup untuk memulai keluarga.

Bukan berarti aku kekeuh ingin single seumur hidupku. Tidak juga. Bila menemukan seseorang yang kucintai dan mencintaiku, lalu kita bisa bersama, betapa indah kedengarannya. Namun...

Aku merasa bagaikan gelas yang berulang jatuh dan pecah berkeping-keping. Memilikiku hanya akan membuat tangan seseorang berdarah.

Baiknya aku memperbaiki diri dahulu, namun kapan aku akan selesai? Entahlah...

Sejujurnya aku merasa bahwa mungkin aku akan bisa bahagia membentuk keluarga yang lain, mungkin mereka yang juga tak sanggup menikah dan berkeluarga karena sebab tertentu. Hidup dengan menjunjung nilai-nilai yang kami anggap penting, mungkin dengan menjadi ramah lingkungan dan lain sebagainya. Tidakkah cukup kami bersama saling menjaga satu sama lain dan menikmati indahnya dunia? Meskipun kami bukanlah ayah, ibu, dan anak. Mungkin, kami pun bisa saling menyembuhkan, nantinya.

Bila salah satu dari kami menemukan keluarga lain, aku tidak berkeberatan juga.

Asalkan kami dapat menerima satu sama lain apa adanya.

Namun... apakah itu benar?

Ataukah aku memang hanya seorang pecundang yang tak cukup berharga sehingga tak dapat memilih dan dipilih seseorang? Apakah aku hanya keras kepala tak mau mengakui bahwa aku begitu gagal?

Seberapa hebatkah aku harus menjadi sehingga ini semua diterima?

Kamis, 15 April 2021

hello, how have you been?

 Day 4 of 30 days writing challenge : A place I want to visit

If you know me you probably already know how much I love to travel. Perhaps I’ve told you once I dreamt of travelling the world. I dream of seeing the northern lights and diving deep into the coral reefs of bunaken. Or seeing sakura in full bloom in the picturesque Kyoto.

Now I think I’ve been to a lot of places. (But not those three I mentioned)

If you asked me, where else do I want to go?

My answer would be : I think anywhere is fine.

Every and each places are so enchanting. Different scents, different sounds, different food, different people. Just give it some time, and I’d fall in love with every city I have visited.

And with love, came heartbreaks—a hold in my heart knowing that I might never get to return. Once is never enough. Whenever you leave, a part of your heart remains.

But still, I’d travel and fall in love again.

And then, with heart worn out, I’d like to return home. I’d like to return to every home, where I left pieces of my heart behind.

I’d like to go back, to where there are familiar smiles. A place where I can find my favorite food on the table. A place where I can drink tea and have some biscuits.

A place where I can just sit, and ask, hello, how have you been?



 

Rabu, 03 Maret 2021

the place in my memory

 Day 3 of 30 days writing challenge : A memory.

Somehow, I have such a vivid memory of my time spent in Kompleks Sesarehan Gunung Kawi (Kawi Mountain’s Temple Complex).

Back then, my parent had just divorced, and my mother brought me over to her best friend’s house. They were a Chinese-Indonesian couple who owned a traveler’s lodging house in the heart of one of Malang’s most famous pilgrimage site. My mother had to sustain us, so she had to leave to work somewhere far away. And so, there I was, by myself, in a stranger’s house, in an unknown place.

Yet, I remember it as one of the happiest times of my childhood.

Life in Gunung Kawi was simple.

Every morning I woke up, often shivering, inhaling the fresh mountain air. It was a long holiday before I started first grade of elementary school, so as a kid I naturally had all the time in the world for the day.

There was a never-ending friendly debate each morning between my new family—whether it is better to eat before you brush your teeth or brush your teeth before you eat. (Now, I believe in the first premise.)

The kind auntie liked me, since I was described as a smart and obedient kid, so I had no trouble with anyone. I had no friends to play with but there were a lot of cute, round turkeys I used to chase around in front of the house. I had a bag of frutella candies that I kept like a treasure, and I carefully ate them one by one, each day.

And every day, I went exploring.

Sesarehan Gunung Kawi was so festive, with all the red decorations, busybodies going on pilgrimages, candles, bells, souvenirs, and street foods all over the place. I think I might have been there on a special occasion. The bathhouse just beside my place was always steaming from the hot waters. Ginger drinks and hot meatballs plagued the place.

If I tread down the small road by the bath house, away from the main street, I’d find steps leading down a bamboo forest, with fresh river waters. People say the water was miraculous, so at the end of that road, there was another huge bathhouse in the middle of the bamboo forest.

If I come up the main stairs towards the mosque at the top of the hill, I’d see a lot of temples with red and white candles and charms and ribbons. The scent of incense was in the air. It was strange, now that I think of it, that the mosque and the temple were side by side, both merry with visitors. I just thought, it was interesting. And I kept going.

And one day, on one of those days, a big, big paper dragon and barongsai would dance down the steps, fluttering and jumping and blinking and turning their heads left, right, up and down, followed by so many costumed people dancing and playing festival instruments, with bright colors and loud musics.

It was such an enchanting time.

I visited the nice auntie a while ago. Sometimes I wish that place would just stay in my mind. Except for the nice auntie, everything else seemed to have faded. The nature, the food, the festivity. The colors. The sounds.

The bath house near the lodging house was in ruins, and a dog took shelter in the middle of a pouring rain.

How long was I there, back then? I was so small, so I have no idea.

The place in my memory, maybe it’s now all gone.

 

Studio Ghibli, Spirited Away Wallpapers HD / Desktop and Mobile Backgrounds 

This might be why I love Spirited Away so damn much. Once upon a time, I, too was spirited away to some unknown land... then part with those I came to love.

Selasa, 02 Maret 2021

the girl in love with the sky

 Day 1 and 2 of writing challenge :

Describe your personality and the things you love

First of all, I have no idea how to describe myself. But I’ll tell you a thing or two, maybe.

Some people say I am strange. But I don’t know what is strange, or what is not. What I do, is just what comes naturally to me. So… here comes!

Well, first of all, someone’s personality came from their genes, and their upbringing. I’ve no idea about genes, but I was raised by at least 7 different parents.

You can skip this part.

First I was raised by my biological parents; then they were too busy that I was basically raised by the grandmas of my neighborhood. Then things happened, that my mom had to raise me alone. Then, I was left at a really kind auntie and uncle’s house, which was a lodging house for travelers. Then, my grandma took me. Then my dad and my step mother took me. Then my brother and his wife took me.

And finally, my mom and step dad took me.

End of skippable part.

I grew up as an obedient and bright kid to whomever took me in, and growing up, I was interested in two things: books, especially those with pictures; and nature around me: plants, animals, and most importantly, the sky. I’ve no idea when, but I have always been so obsessed with the sky.

Well… Isn’t the sky always so pretty?

And how about now, you ask? Now…

Perhaps I am still the same, basically?

I am really curious, sometimes to a fault. I naturally crave to wander and see the world. People intrigue me, I’d like to know how they think, how they feel. Why they do what they do.

How did this world come to be? I wondered that. And why am I here? I still haven’t got any reason why.

And stories, are a peek to the worlds inside people’s mind. So how marvelous is that, that we can travel so many worlds at once?

I think I’m pretty transparent. I can’t lie for the life of me, or pretend. But I am very good at forgetting. And I am very good at spacing out. So that helps I guess?

With this transparent self, I can still carry a lot of secrets.

I think I’m pretty loyal, too. I’m one of those friends who will help you no matter what. I empathize a lot, so it’s also though sometimes.

Also, I think I’m pretty random. I’ve got reason for all I do, but I think, I’m too in love with this world? There are so many things and reasons you can find to do anything. I’m pretty strict with myself, and my values are something no one can negotiate with, but I’m really open to change.

And although I’m pretty bold with my choices, I hate to decide things for others. My choices are for myself, and I’ll carry the consequences, fully.

One more thing, I hate to notice my ego.

I love it when ‘I’ do not exist. I am simply a pair of eyes and a pair of ears. All the smells of the air may pass me by. My heart goes with the laughters, the chirps, the rustles of those around me.

I love it when a kid jumps into a bunch of gravels. I love it when the leaves spins, blown away by the wind. I love it when sun ray went into a dark room, and the dust dances, floating among themselves.

At times like that, I am most happy, by myself.

I guess like the sky, like the wind, they have no secrets. Sometimes they are bright, sometimes there are storms. They are always with you. They move endlessly.

There is no limit.

Maybe that’s how I want to be.

 

This is a few months old but I want to post it here... Writing challenge. It's not finished but I'll write more if I feel like it.

I'll post more as I go.

Sorry for deserting this blog for so long. (to no one in particular lol) 

Bonus : Water Lily