Welcome to Wonderland!

A compilation of wonders where things might be found upside down. Feel free to do and say anything out of the ordinary. Wish you a safe journey back into reality after reading all these.

Kamis, 26 September 2019

keraguan

Entahlah, mungkin karena aku merasa nggak ada yang mbaca blog ini. Rasanya pingin coba mempublikasikan hal-hal dalam pikiran, entahlah, mungkin ada orang asing nggak jelas yang tiba-tiba randomly membaca, aku nggak peduli, haha.

Sebenarnya blog ini merekam dengan cukup baik perkembangan pikiran dan pergolakanku, sejak jaman alay sampe sekarang. Tentu saja, semua itu di luar ranah privat. Dengan membaca blog ini mungkin kamu nggak akan menemukan cerita dengan nama. Namun tetap ada esensinya.

Mungkin juga cuma aku yang paham sebenernya, tapi ya persetanlah!

Selain blog ini aku menuangkan pikiran ke begitu banyak tempat. Buku kecil dengan kalimat satu baris, gambar-gambar, percakapan-percakapan, dan tentu saja jurnalku. Rasanya ingin selalu meminta maaf, akhir-akhir ini, karena pikiran yang kelewat aktif, kelewat anarkis. Ketika hal-hal yang dibendung akhirnya dilepaskan, aku pun megap-megap dan hampir tenggelam.

Dan akhir-akhir ini aku mulai menelusuri keyakinanku. Aku tumbuh di lingkungan yang begitu kacau, dimana tak ada orang yang dapat kuandalkan, maupun nilai turunan yang dapat kupegang erat. Bagaimana bisa? Pandangan orang-orang selalu berseberangan, dan tak jarang aku melihat mereka yang hanya memegang prinsip umum di bibir saja. Di hidup ini pilihannya hanya satu, bukan : Buatlah prinsipmu sendiri.

Jadi, ya itu yang kulakukan.

Aku biasa mendengarkan dengan netral, lalu memikirkan dan menyambungkan segala sesuatunya, memastikan bahwa itu benar. Kalau tidak, aku akan melupakannya. Nurut sih nurut, tapi pelan namun pasti aku mengembangkan pribadi yang keras kepala. Semua hal yang ada di dalam diri ini adalah hal-hal yang kupegang erat-erat, janji-janji yang kubuat dengan diri sendiri. Termasuk masalah agama dan moralitas.

Sialnya dengan selalu membuka pikiran adalah, kadang kamu bingung, dengan mana yang benar. Aku ingin percaya dengan seluruhnya, aku ingin beriman sepenuhnya. Untuk apa kita percaya namun setengah-setengah saja? Dan aku hanya akan percaya pada hal yang telah kutimbang baik-baik, yang dapat kupastikan kebenarannya dalam taraf tertentu. Aku stuck, diantara liberal dan konservativist--terlalu longgar bagi hamba taat, terlalu banyak bertanya. Namun juga terlalu kaku bagi sebagian yang lainnya, sok menjadi baik dan mengkhianati hasrat diri.

Tidak semua orang berpikiran sama, dan pada dasarnya aku tidak peduli. Prinsip moral dan agama bagiku adalah ranah privat yang jarang bergesekan satu sama lainnya--lakum dinukum waliyadin. Kita semua toh mungkin tidak memeluk Islam yang sama.

Namun aku akhirnya goyang juga, haha.

Orang yang kupilih menjadi bagian dari diriku, tidak berpikiran sama.

Aku tidak begitu ingin mengajak orang lain mengikutiku dengan buta. Namun bagaimana lagi, aku pun baru sadar aku begitu keras kepala. Aku menyampaikan argumenku tentang apa yang kuanggap paling baik, menyampaikan alasan panjang lebar dan pertimbanganku atas setiap darinya. Nahas, aku terlalu yakin, bahwa semua itu benar! Ya tentu saja, bukan? Kalau aku tidak yakin kalau itu benar, mana mungkin aku mengikutinya?

Tanpa sadar aku menyodorkan keyakinanku dengan begitu agresifnya. (Apakah aku agresif? Entahlah. Mungkin dia sudah lelah pula mendengarkannya. Lagipula ini pemikiran seumur hidup). Biasanya aku tidak peduli, namun kali ini berbeda. Ada seseorang yang kupilih. Aku ingin mengerti mengapa pilihan kami berbeda, dan apa yang ada di belakang keputusannya. Aku ingin percaya pada common sense-nya, pada judgement-nya. Aku ingin berdiskusi dan menemukan titik tengah, yang lebih baik dari yang sebelumnya kuputuskan.

Disini aku mulai bingung dengan batas individualitas. Apa yang mampu kutoleransi, dan apa yang tidak? Apa yang dapat kita berdua kompromikan, apa yang tidak?
Batas toleransiku pun ternyata begitu rendah. Aku bukan konservativist, namun sekali lagi, aku ingin percaya dan tunduk sepenuhnya pada kepercayaan yang telah kuputuskan.
Namun tidak baginya -- setiap orang memiliki jatah dosa masing-masing. Tidak ada manusia yang sempurna.
Mungkin itu benar. Aku terlalu idealis. Bukannya aku sendiri sempurna. Tapi mungkin aku perfeksionis. Selalu menganggap harus berusaha begitu keras mendekati kesempurnaan. Termasuk dalam hal agama. Kuanggap itu sebagai bukti keseriusanku. Meski dalam keadaan tak ideal pun.

Namun....ah, ya.
Sekali lagi, aku sedang bingung, kawan.

Semua logika ini, semua pertanyaan ini. Perlahan secara sadar tak sadar aku mulai mencoba merasionalisasi nilai moral orang lain. Aku mencoba menerima. Namun nahas, beberapa di antara mereka begitu bertentangan.

Di kasus ini, mungkin kami telah sepakat dalam batasan-batasan yang kami tetapkan.

Namun...
Begitu sulit bagiku untuk percaya, bahwa seseorang dapat mengikuti sesuatu yang tidak mereka setujui.

Takut. Lagi-lagi takut. Lagi -lagi susah percaya.
Salahkah aku? Sedang di masa lalu tak ada satu pun yang dapat kupercaya.
Mungkin manusia memang tempatnya salah.
Dan aku mengharapkan sesuatu yang terlalu sempurna.

Mungkin pula sebenarnya kami tidak seberbeda itu. Aku saja yang terlalu banyak berpikir jauh. Aku belum mampu memahaminya.

Apakah hal yang kuminta, terlalu berat?

Pantaskah aku memintanya?

Begitu berartinyakah diriku bagi seseorang untuk memahaminya, dan mengabulkannya?

Dulu aku tak pernah berharap.

Dan kini, aku takut.

Sembari menulis ini aku juga sadar. Ternyata aku ini idealis tingkat akut.
Maafkan.

Senin, 09 September 2019

field mice

A nice funfact I discovered today :
Field mice likes to seek pollen in flowers and fall asleep in them!
It's so cute.

Image result for field mice in flowersImage result for field mice in flowersImage result for field mice in flowersImage result for field mice in flowers

how to console

When someone tells you about how they are having a hard time, never tell them about how some other guy had similar or worse problem and even they could survive!

Instead of encouraging them, you are just emphasizing their incapability in handling a problem, and saying that insignificant their struggle is insignificant. Summary : 'You are a loser.'

Instead, if you want to take another case as example, how about you try to know how the other person overcame their problem, and try to see if there's something that might be applicable to your friend's situation?

That way, it might cost a bit of an effort, but you will actually be useful, perhaps! And if there's nothing applicable, then just shut it.

Stop wringing out your fake sympathy--that you care about them when in fact you just want them to stop whining.

In the way that you wouldn't like your parents to compare you with your successful cousin, don't compare people's problem and underestimate them.

It's not like you are guaranteed to be able to handle it better, if you were in their shoes. To be able to consider how you would feel to be in their shoes--that's empathy, what you really need instead of mindless words.

Because more than anyone, they already cursed themselves enough.