Welcome to Wonderland!

A compilation of wonders where things might be found upside down. Feel free to do and say anything out of the ordinary. Wish you a safe journey back into reality after reading all these.

Selasa, 11 Mei 2021

tentang saudara-saudaraku

 Aku tidak memiliki banyak memori mengenai keluarga sedarahku dulu. Rasanya semenjak aku sudah mulai bisa mengingat, semua sudah di ujung batas kehancuran.

Ya begitulah hidupku berlangsung hingga sekarang, menyaksikan keluarga yang tak pernah utuh.

Rasanya semenjak aku dibawa pergi ibuku pada usia 3 tahun ke antah berantah, berpisah dengan semuanya, aku hanya pernah merasakan berkumpul dengan ketiga saudaraku kurang dari 5 kali.

Pertama, waktu kakakku secara ajaib dulu mau berbaikan dengan ibuku. Waktu itu ibuku membuka warung bakso dan kami makan bersama. Rasanya aku senang sekali hingga aku ingin menangis.

Kedua, waktu itu kakakku mengajak kami bertiga bertemu dengan bapak kandung dan ibu tiriku dan makan bersama di sebuah restoran.

Ketiga, waktu kakakku yang pertama menikah (untuk kedua kalinya). Waktu itu, kami foto berempat, untuk pertama dan terakhir kalinya.

Keempat, beberapa saat setelah pernikahan kakakku, kami berlibur di sebuah agrowisata bersama.


Ya. Mungkin hanya itu saja.

--

Bagiku kakakku lebih dari sekedar kakak. Kakak pertamaku juga adalah orang tua ketiga? atau keempat, ya? bagiku.
Ia mendominasi beberapa tahun awal hidupku.

Harus merawat anak kecil di awal umur 20an, plus dengan keadaan yang penuh trauma dan amarah karena keadaan hancurnya keluarga, membuatnya tidak menjadi orang tua yang paling baik. Daridulu kakakku pemarah, dan kadang abusif. Emosinya meledak-ledak.

Namun aku tau ia sudah berusaha yang terbaik. 

Meski dia sudah memberiku banyak trauma... kesedihan terbesarku tetap karena kami, sekarang, sudah bagaikan orang asing. Entah sampai kapan.

Dan aku masih belum bisa menerima dia yang masih menganggapku bagai anak kecil tidak tahu apa-apa.

--

Kakak keduaku itu, bagaikan anak yang hilang.

Setelah keluarga kami porak poranda, ia kemana? Agaknya tidak ada yang tahu dan berusaha menggapainya.

Ia sudah banyak menderita, mencoba bertahan hidup sendirian untuk waktu selama itu. Aku pun hampir tidak punya memori tentang kakak keduaku.

Apa saja yang sudah dilaluinya? Bagaimana perasaannya?

Agaknya kami semua tidak begitu tahu...

Kami kurang menyayanginya... Menerimanya...

Namun semua terlambat. Ia yang sekarang... sudah tidak tergapai. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah menolongnya, semoga Allah memberiku kekuatan untuk menolongnya.

Semoga kakakku yang kedua ini tidak merasa begitu sendirian, hingga ia harus lari dari kenyataan dengan cara-cara yang menghancurkan dirinya.

--

Kakak ketigaku itu, adalah salah satu orang paling penyayang yang pernah ada.

Pekerja keras, dan rela berkorban. Seluruh hidupnya adalah untuk keluarga.

Aku tidak punya banyak memori mengenai saudaraku, namun aku memiliki satu memori soal kakak ketigaku. Waktu itu dia menangis, karena tidak kunjung paham pelajaran sekolah, bahkan setelah diajari kakak pertamaku sekian lama. Kakak pertamaku lalu emosi dan melempar buku kepadanya, lalu berlalu pergi.

Aku mendatanginya, lalu, entah memeluk atau memegang tangannya, aku lalu mulai menangis bersamanya.

Aku tidak tahu kenapa memori ini saja yang kuingat.

Semenjak orang tua kami lepas tangan dengan kami, kakak ketigaku selalu berperan sebagai pengasuhku, begitu sabar dan telaten mengurusku. Bahkan usianya baru menginjak belasan, namun dia memastikan aku makan teratur dan banyak, mandi dengan benar, berkuncir lucu. Saat menerima gaji pertamapun, ia pakai untuk membelikanku susu dan jajanan yang layak.

Kakak ketigaku mulutnya terdengar buas namun hatinya baik. Cengeng.

Saat ini pun ia menanggung banyak beban.

Semoga suatu saat, aku bisa meringankan bebannya. 

Sesegera mungkin.

--


Begitulah saudara-saudaraku. Sekali saja, aku ingin menulis untukmu.

Semoga kita bisa berkumpul lagi.

pikiran-pikiran aneh, mungkin juga gelap.

/warning : sedikit...sedih, depresif. tidak perlu dibaca bila kamu sedang sedih, mungkin.
ini adalah tulisan pengakuan, bahwa aku seorang pecundang, mungkin.

 

Akhir-akhir ini aku memikirkan tentang pemrosesan traumaku yang seakan tak kunjung usai.

Tadinya aku merasa cukup bahagia dengan semua yang ada. Cukup bahagia bisa hidup bernafas dan melihat dedaunan yang berputar di angin.

Namun sekarang aku sudah menginjak usia paruh abad. Di usia ini tekanan masyarakat semakin keras. Begitu kerasnya hingga aku merasa seakan aku adalah manusia yang gagal apabila aku tidak dapat menemukan pasangan dan lalu menikah seperti yang umumnya diharapkan.

Sejujurnya aku masih menganggap bahwa menikah atau tidak, bukanlah parameter kesuksesan. Lihatlah orang-orang hebat seperti Leonardo da Vinci maupun para sufi yang tidak menikah hingga akhir hayatnya, itu sama sekali tidak mengurangi nilai mereka sebagai manusia.

Namun, aku bukanlah orang sehebat mereka. Aku tidak berdedikasi maupun memiliki iman yang kuat.

Aku hanya seorang yang biasa saja, namun merasa agak tak sanggup untuk memulai keluarga.

Bukan berarti aku kekeuh ingin single seumur hidupku. Tidak juga. Bila menemukan seseorang yang kucintai dan mencintaiku, lalu kita bisa bersama, betapa indah kedengarannya. Namun...

Aku merasa bagaikan gelas yang berulang jatuh dan pecah berkeping-keping. Memilikiku hanya akan membuat tangan seseorang berdarah.

Baiknya aku memperbaiki diri dahulu, namun kapan aku akan selesai? Entahlah...

Sejujurnya aku merasa bahwa mungkin aku akan bisa bahagia membentuk keluarga yang lain, mungkin mereka yang juga tak sanggup menikah dan berkeluarga karena sebab tertentu. Hidup dengan menjunjung nilai-nilai yang kami anggap penting, mungkin dengan menjadi ramah lingkungan dan lain sebagainya. Tidakkah cukup kami bersama saling menjaga satu sama lain dan menikmati indahnya dunia? Meskipun kami bukanlah ayah, ibu, dan anak. Mungkin, kami pun bisa saling menyembuhkan, nantinya.

Bila salah satu dari kami menemukan keluarga lain, aku tidak berkeberatan juga.

Asalkan kami dapat menerima satu sama lain apa adanya.

Namun... apakah itu benar?

Ataukah aku memang hanya seorang pecundang yang tak cukup berharga sehingga tak dapat memilih dan dipilih seseorang? Apakah aku hanya keras kepala tak mau mengakui bahwa aku begitu gagal?

Seberapa hebatkah aku harus menjadi sehingga ini semua diterima?