“Jadi, apa yang mereka lakukan kepadamu? Mengapa kau berada di sini?”
Pertanyaan itu mengejutkan Jack dari lamunannya. Untuk sesaat yang panjang ia terdiam. Elsa, menyadari betapa beraninya pertanyaannya, tersentak dengan panik. “Ah--maaf, maksudku..”
“Tidak apa-apa!” jawab Jack ringan.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa setiap orang yang berada di bangunan putih itu bukanlah orang biasa. Entah karena status kehidupan mereka atau demi suatu pertukaran yang sepadan, nama mereka kini terhapus di dunia. Yang tersisa hanyalah renungan di dalam ruangan-ruangan putih, penantian kosong seraya mereka dipanggil satu persatu bagaikan domba ternak ke lab-lab percobaan. Tubuh mereka hanyalah objek yang dapat dirusak dan dimodifikasi, semua demi ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi. Mereka adalah orang-orang yang terbuang dari dunia, tidak diakui ataupun dicari keberadaannya.
Oh, ya, mereka beruntung masih dapat berada di sini. Meski harus dibuat hampir gila oleh rasa sakit yang kini bahkan kehilangan definisinya.
“Itu pertama kalinya ada yang ingin mengetahui tentang diriku, dan aku senang sekali! Namun, sayang sekali aku tidak pernah diberitahu tentang percobaan yang dilakukan kepadaku. Sedangkan alasannya...” Ia berpikir sejenak. “Yah, sejujurnya, aku tidak begitu ingat mengapa aku berada di sini.”
“Kau tidak ingat?”
“Tidak. Ingatan pertamaku adalah tentang lampu lab yang besar, bagaikan bulan purnama di langit tak berbintang. Saat itu umurku mungkin...” Jack menggumam pada dirinya sendiri, alisnya bertaut dalam usaha memperoleh ingatan. “Aku bahkan tidak ingat berapa umurku saat itu. Pokoknya, selama ini aku selalu berada di sini, dan hanya mengenal dunia luar melalui lukisan buku-buku dongeng dan buku-buku kumpulan gambar. Di beberapa bagian, ingatanku terputus dan muncul tiba-tiba, bagaikan ada tahun-tahun yang hilang.”
Elsa mengerutkan dahinya. “Itu aneh sekali. Mungkin... Itu salah satu efek percobaan mereka padamu.”
“Mungkin begitu,” ujar Jack membenarkan. “Terkadang aku melihat gambar sebuah bunga, dan memiliki ingatan tentang bau bunga itu. Padahal aku belum pernah melihatnya langsung. Bukankah itu aneh?”
Elsa tersenyum sedih. “Hm, mungkin kau memang pernah menciumnya. Kuharap kau dapat memperoleh ingatanmu suatu hari nanti.”
Jack mengembalikan senyum Elsa dengan riang. “Yah, aku tak keberatan. Itu terdengar bagus, namun mungkin juga lebih baik aku tak mengingatnya. Omong-omong, bagaimana denganmu? Mengapa kau berada di sini?” tanyanya, dengan cepat mengubah arah pembicaraan.
Elsa menunduk ragu. “Hmm, aku memiliki sedikit... keanehan. Lalu kebetulan saat aku berumur satu tahun ada wabah menyerang desa tempat tinggalku. Mereka bilang, itu karena diriku.” Ia menelan ludah, menenangkan hatinya. Ini pertama kalinya ia menceritakan hal ini kepada orang lain. “Kami bertahan beberapa saat, namun akhirnya keluarga terakhirku meninggal pada saat umurku 4 tahun. Jadilah tidak ada yang menginginkanku, dan akupun dibawa kesini.”
“Wah, sepertinya kita kurang lebih teman senasib,” sahut Jack riang. Lawan bicaranya spontan mengangkat alis. “Jadi, apa yang mereka lakukan padamu?”
Elsa menghela nafas. Tak ada ruginya menceritakan segalanya, ia kira.
“Sejak lahir suhu tubuhku jauh lebih rendah dari manusia pada umumnya,” jelasnya. “Para ilmuwan itu berpikir bahwa tubuhku mungkin cocok bagi beberapa uji teori tertentu. Dan setelah beberapa percobaan, mereka membuatku melakukan...ini.”
Elsa menyentuh kaca yang memisahkan mereka, kemudian menghembuskan nafas teratus. Bunga-bunga es muncul dari ujung jarinya, dengan indah menyebar meliputi seperempat bagian kaca itu. Perlahan, ia melepaskan sentuhannya dan memandang hasil kerjanya datar. “Yah, seperti yang kaulihat--”
“Wow.”
Perhatian Elsa teralihkan, dan ia menatap Jack yang kini menganga takjub dengan mata yang bersinar. “Itu keren sekali! Ternyata kita benar-benar sama! Wah, aku senang sekali.”
Sepasang alis platinum blonde pun bertaut. “Sama? Apa maksudmu?”
Jack tidak menjawab. Tanpa kata-kata ia ketuk kaca, tepat di mana Elsa menyentuhkan jarinya, dan bunga es di kaca itu melebar, menyebar indah membentuk pola melingkar yang saling bertaut. Elsa menghela nafas takjub.
“Itu... Indah sekali! Bagaimana kau...”
Lelaki albino di depannya bersiul. “Sebenarnya itu sama saja. Aku pun sepertinya juga memiliki suhu tubuh yang rendah--entahlah, aku tak pernah ingat menyentuh manusia lain, jadi aku tak tahu suhu normal itu seperti apa. Dan sepertinya pola es ini dapat kita kendalikan dengan sedikit usaha. Seharusnya kau juga bisa melakukannya.”
“Aku tidak pernah memikirkan hal itu,” gumam Elsa, disambut senyuman penuh arti dari pemuda di depannya. “Apa? Apa yang kau harapkan dariku, eh? Aku tidak pernah...”
Setelah beberapa saat beradu pandang, dia pun menghela nafas, menyerah.
“Oh, baiklah. Aku akan mencobanya di lantai ini. Tunggu dan lihat saja di situ!”
Perlahan, Elsa berlutut dan meletakkan tangannya yang gemetar karena adrenalin. Senyum tipis di bibir merahnya tak dapat ia tahan.
Bunyi renyah retakan es berbisik lirih saat bunga kristal perlahan terlukis di bidang putih sempit itu. Empat pasang manik sebiru es berpendar lembut, tersenyum dalam keheningan
2. Crystal Blossoms
((Eh, habis mbahas gaya tulisan show-tell dan purple prose, saya jadi bingung sendiri. Apakah cerita-cerita
saya termasuk purple prose? *prose yang terlalu lebay bahasanya* @w@ enggak kan? Mi-miaw...
Anyway, comment up yer critique! Kayaknya ada sedikit kegagalan penyampaian plot disini...))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar