tolong, aku tidak tahan berada di sini
biarkan aku tidur

Welcome to Wonderland!
A compilation of wonders where things might be found upside down. Feel free to do and say anything out of the ordinary. Wish you a safe journey back into reality after reading all these.
Kamis, 14 November 2019
Jumat, 04 Oktober 2019
Daydreams
I'm not sure what is happening
Rabbits and mice, apple and pine, stripes and dots, shoes and socks
A melon falls
The rock so sturdy and the soil so soft
Rain comes and it smells so nice
The cat smiles and chews some grass
The princess sits and reads
With a stray baby of a lion,
Yawning and stretching
A wolf pack howls,
A whale sings,
A sparrow chatters,
The human hums
I'll walk slowly and nod along
Rabbits and mice, apple and pine, stripes and dots, shoes and socks
A melon falls
The rock so sturdy and the soil so soft
Rain comes and it smells so nice
The cat smiles and chews some grass
The princess sits and reads
With a stray baby of a lion,
Yawning and stretching
A wolf pack howls,
A whale sings,
A sparrow chatters,
The human hums
I'll walk slowly and nod along
Rabu, 02 Oktober 2019
note to the hatter(2)
hatter,
you always remind me of the skies
and how pretty everything is
when I look up at night,
I hope you never forget it too
(I guess you wont!)
that we longed to fly.
you always remind me of the skies
and how pretty everything is
when I look up at night,
I hope you never forget it too
(I guess you wont!)
that we longed to fly.
note to the hatter
hatter,
I miss all those walks we took,
the long journeys
with bonfires
and fireflies
and stars
and strange mushrooms,
of conversations with the roses
and the clouds
and the fly-horses,
of days staring into the sky,
the thirteen-colored rainbow
shooting so high,
hatter,
are our roads still there?
overgrown and muddy,
but can we track it down?
now I'd like to go somewhere
I'd like to find the way,
write it down and send them to you,
in letters with envelopes
the color of the earth, and grasses, and skies
but I can't find the roads,
there are old maps
I have to decipher,
and for that, strange languages
I have to learn,
hatter,
where are you now?
did you find what you wanted?
now that I know what I want,
I am more clueless than ever
hatter.
I miss being lost
I miss all those walks we took,
the long journeys
with bonfires
and fireflies
and stars
and strange mushrooms,
of conversations with the roses
and the clouds
and the fly-horses,
of days staring into the sky,
the thirteen-colored rainbow
shooting so high,
hatter,
are our roads still there?
overgrown and muddy,
but can we track it down?
now I'd like to go somewhere
I'd like to find the way,
write it down and send them to you,
in letters with envelopes
the color of the earth, and grasses, and skies
but I can't find the roads,
there are old maps
I have to decipher,
and for that, strange languages
I have to learn,
hatter,
where are you now?
did you find what you wanted?
now that I know what I want,
I am more clueless than ever
hatter.
I miss being lost
About
people,
puzzles,
random stories,
thoughts
lamps in the daylight
But you don't belong here, my dear
Perhaps we ought to rush into the night
Banish the darkness they all fear
Kamis, 26 September 2019
keraguan
Entahlah, mungkin karena aku merasa nggak ada yang mbaca blog ini. Rasanya pingin coba mempublikasikan hal-hal dalam pikiran, entahlah, mungkin ada orang asing nggak jelas yang tiba-tiba randomly membaca, aku nggak peduli, haha.
Sebenarnya blog ini merekam dengan cukup baik perkembangan pikiran dan pergolakanku, sejak jaman alay sampe sekarang. Tentu saja, semua itu di luar ranah privat. Dengan membaca blog ini mungkin kamu nggak akan menemukan cerita dengan nama. Namun tetap ada esensinya.
Mungkin juga cuma aku yang paham sebenernya, tapi ya persetanlah!
Selain blog ini aku menuangkan pikiran ke begitu banyak tempat. Buku kecil dengan kalimat satu baris, gambar-gambar, percakapan-percakapan, dan tentu saja jurnalku. Rasanya ingin selalu meminta maaf, akhir-akhir ini, karena pikiran yang kelewat aktif, kelewat anarkis. Ketika hal-hal yang dibendung akhirnya dilepaskan, aku pun megap-megap dan hampir tenggelam.
Dan akhir-akhir ini aku mulai menelusuri keyakinanku. Aku tumbuh di lingkungan yang begitu kacau, dimana tak ada orang yang dapat kuandalkan, maupun nilai turunan yang dapat kupegang erat. Bagaimana bisa? Pandangan orang-orang selalu berseberangan, dan tak jarang aku melihat mereka yang hanya memegang prinsip umum di bibir saja. Di hidup ini pilihannya hanya satu, bukan : Buatlah prinsipmu sendiri.
Jadi, ya itu yang kulakukan.
Aku biasa mendengarkan dengan netral, lalu memikirkan dan menyambungkan segala sesuatunya, memastikan bahwa itu benar. Kalau tidak, aku akan melupakannya. Nurut sih nurut, tapi pelan namun pasti aku mengembangkan pribadi yang keras kepala. Semua hal yang ada di dalam diri ini adalah hal-hal yang kupegang erat-erat, janji-janji yang kubuat dengan diri sendiri. Termasuk masalah agama dan moralitas.
Sialnya dengan selalu membuka pikiran adalah, kadang kamu bingung, dengan mana yang benar. Aku ingin percaya dengan seluruhnya, aku ingin beriman sepenuhnya. Untuk apa kita percaya namun setengah-setengah saja? Dan aku hanya akan percaya pada hal yang telah kutimbang baik-baik, yang dapat kupastikan kebenarannya dalam taraf tertentu. Aku stuck, diantara liberal dan konservativist--terlalu longgar bagi hamba taat, terlalu banyak bertanya. Namun juga terlalu kaku bagi sebagian yang lainnya, sok menjadi baik dan mengkhianati hasrat diri.
Tidak semua orang berpikiran sama, dan pada dasarnya aku tidak peduli. Prinsip moral dan agama bagiku adalah ranah privat yang jarang bergesekan satu sama lainnya--lakum dinukum waliyadin. Kita semua toh mungkin tidak memeluk Islam yang sama.
Namun aku akhirnya goyang juga, haha.
Orang yang kupilih menjadi bagian dari diriku, tidak berpikiran sama.
Aku tidak begitu ingin mengajak orang lain mengikutiku dengan buta. Namun bagaimana lagi, aku pun baru sadar aku begitu keras kepala. Aku menyampaikan argumenku tentang apa yang kuanggap paling baik, menyampaikan alasan panjang lebar dan pertimbanganku atas setiap darinya. Nahas, aku terlalu yakin, bahwa semua itu benar! Ya tentu saja, bukan? Kalau aku tidak yakin kalau itu benar, mana mungkin aku mengikutinya?
Tanpa sadar aku menyodorkan keyakinanku dengan begitu agresifnya. (Apakah aku agresif? Entahlah. Mungkin dia sudah lelah pula mendengarkannya. Lagipula ini pemikiran seumur hidup). Biasanya aku tidak peduli, namun kali ini berbeda. Ada seseorang yang kupilih. Aku ingin mengerti mengapa pilihan kami berbeda, dan apa yang ada di belakang keputusannya. Aku ingin percaya pada common sense-nya, pada judgement-nya. Aku ingin berdiskusi dan menemukan titik tengah, yang lebih baik dari yang sebelumnya kuputuskan.
Disini aku mulai bingung dengan batas individualitas. Apa yang mampu kutoleransi, dan apa yang tidak? Apa yang dapat kita berdua kompromikan, apa yang tidak?
Batas toleransiku pun ternyata begitu rendah. Aku bukan konservativist, namun sekali lagi, aku ingin percaya dan tunduk sepenuhnya pada kepercayaan yang telah kuputuskan.
Namun tidak baginya -- setiap orang memiliki jatah dosa masing-masing. Tidak ada manusia yang sempurna.
Mungkin itu benar. Aku terlalu idealis. Bukannya aku sendiri sempurna. Tapi mungkin aku perfeksionis. Selalu menganggap harus berusaha begitu keras mendekati kesempurnaan. Termasuk dalam hal agama. Kuanggap itu sebagai bukti keseriusanku. Meski dalam keadaan tak ideal pun.
Namun....ah, ya.
Sekali lagi, aku sedang bingung, kawan.
Semua logika ini, semua pertanyaan ini. Perlahan secara sadar tak sadar aku mulai mencoba merasionalisasi nilai moral orang lain. Aku mencoba menerima. Namun nahas, beberapa di antara mereka begitu bertentangan.
Di kasus ini, mungkin kami telah sepakat dalam batasan-batasan yang kami tetapkan.
Namun...
Begitu sulit bagiku untuk percaya, bahwa seseorang dapat mengikuti sesuatu yang tidak mereka setujui.
Takut. Lagi-lagi takut. Lagi -lagi susah percaya.
Salahkah aku? Sedang di masa lalu tak ada satu pun yang dapat kupercaya.
Mungkin manusia memang tempatnya salah.
Dan aku mengharapkan sesuatu yang terlalu sempurna.
Mungkin pula sebenarnya kami tidak seberbeda itu. Aku saja yang terlalu banyak berpikir jauh. Aku belum mampu memahaminya.
Apakah hal yang kuminta, terlalu berat?
Pantaskah aku memintanya?
Begitu berartinyakah diriku bagi seseorang untuk memahaminya, dan mengabulkannya?
Dulu aku tak pernah berharap.
Dan kini, aku takut.
Sembari menulis ini aku juga sadar. Ternyata aku ini idealis tingkat akut.
Maafkan.
Sebenarnya blog ini merekam dengan cukup baik perkembangan pikiran dan pergolakanku, sejak jaman alay sampe sekarang. Tentu saja, semua itu di luar ranah privat. Dengan membaca blog ini mungkin kamu nggak akan menemukan cerita dengan nama. Namun tetap ada esensinya.
Mungkin juga cuma aku yang paham sebenernya, tapi ya persetanlah!
Selain blog ini aku menuangkan pikiran ke begitu banyak tempat. Buku kecil dengan kalimat satu baris, gambar-gambar, percakapan-percakapan, dan tentu saja jurnalku. Rasanya ingin selalu meminta maaf, akhir-akhir ini, karena pikiran yang kelewat aktif, kelewat anarkis. Ketika hal-hal yang dibendung akhirnya dilepaskan, aku pun megap-megap dan hampir tenggelam.
Dan akhir-akhir ini aku mulai menelusuri keyakinanku. Aku tumbuh di lingkungan yang begitu kacau, dimana tak ada orang yang dapat kuandalkan, maupun nilai turunan yang dapat kupegang erat. Bagaimana bisa? Pandangan orang-orang selalu berseberangan, dan tak jarang aku melihat mereka yang hanya memegang prinsip umum di bibir saja. Di hidup ini pilihannya hanya satu, bukan : Buatlah prinsipmu sendiri.
Jadi, ya itu yang kulakukan.
Aku biasa mendengarkan dengan netral, lalu memikirkan dan menyambungkan segala sesuatunya, memastikan bahwa itu benar. Kalau tidak, aku akan melupakannya. Nurut sih nurut, tapi pelan namun pasti aku mengembangkan pribadi yang keras kepala. Semua hal yang ada di dalam diri ini adalah hal-hal yang kupegang erat-erat, janji-janji yang kubuat dengan diri sendiri. Termasuk masalah agama dan moralitas.
Sialnya dengan selalu membuka pikiran adalah, kadang kamu bingung, dengan mana yang benar. Aku ingin percaya dengan seluruhnya, aku ingin beriman sepenuhnya. Untuk apa kita percaya namun setengah-setengah saja? Dan aku hanya akan percaya pada hal yang telah kutimbang baik-baik, yang dapat kupastikan kebenarannya dalam taraf tertentu. Aku stuck, diantara liberal dan konservativist--terlalu longgar bagi hamba taat, terlalu banyak bertanya. Namun juga terlalu kaku bagi sebagian yang lainnya, sok menjadi baik dan mengkhianati hasrat diri.
Tidak semua orang berpikiran sama, dan pada dasarnya aku tidak peduli. Prinsip moral dan agama bagiku adalah ranah privat yang jarang bergesekan satu sama lainnya--lakum dinukum waliyadin. Kita semua toh mungkin tidak memeluk Islam yang sama.
Namun aku akhirnya goyang juga, haha.
Orang yang kupilih menjadi bagian dari diriku, tidak berpikiran sama.
Aku tidak begitu ingin mengajak orang lain mengikutiku dengan buta. Namun bagaimana lagi, aku pun baru sadar aku begitu keras kepala. Aku menyampaikan argumenku tentang apa yang kuanggap paling baik, menyampaikan alasan panjang lebar dan pertimbanganku atas setiap darinya. Nahas, aku terlalu yakin, bahwa semua itu benar! Ya tentu saja, bukan? Kalau aku tidak yakin kalau itu benar, mana mungkin aku mengikutinya?
Tanpa sadar aku menyodorkan keyakinanku dengan begitu agresifnya. (Apakah aku agresif? Entahlah. Mungkin dia sudah lelah pula mendengarkannya. Lagipula ini pemikiran seumur hidup). Biasanya aku tidak peduli, namun kali ini berbeda. Ada seseorang yang kupilih. Aku ingin mengerti mengapa pilihan kami berbeda, dan apa yang ada di belakang keputusannya. Aku ingin percaya pada common sense-nya, pada judgement-nya. Aku ingin berdiskusi dan menemukan titik tengah, yang lebih baik dari yang sebelumnya kuputuskan.
Disini aku mulai bingung dengan batas individualitas. Apa yang mampu kutoleransi, dan apa yang tidak? Apa yang dapat kita berdua kompromikan, apa yang tidak?
Batas toleransiku pun ternyata begitu rendah. Aku bukan konservativist, namun sekali lagi, aku ingin percaya dan tunduk sepenuhnya pada kepercayaan yang telah kuputuskan.
Namun tidak baginya -- setiap orang memiliki jatah dosa masing-masing. Tidak ada manusia yang sempurna.
Mungkin itu benar. Aku terlalu idealis. Bukannya aku sendiri sempurna. Tapi mungkin aku perfeksionis. Selalu menganggap harus berusaha begitu keras mendekati kesempurnaan. Termasuk dalam hal agama. Kuanggap itu sebagai bukti keseriusanku. Meski dalam keadaan tak ideal pun.
Namun....ah, ya.
Sekali lagi, aku sedang bingung, kawan.
Semua logika ini, semua pertanyaan ini. Perlahan secara sadar tak sadar aku mulai mencoba merasionalisasi nilai moral orang lain. Aku mencoba menerima. Namun nahas, beberapa di antara mereka begitu bertentangan.
Di kasus ini, mungkin kami telah sepakat dalam batasan-batasan yang kami tetapkan.
Namun...
Begitu sulit bagiku untuk percaya, bahwa seseorang dapat mengikuti sesuatu yang tidak mereka setujui.
Takut. Lagi-lagi takut. Lagi -lagi susah percaya.
Salahkah aku? Sedang di masa lalu tak ada satu pun yang dapat kupercaya.
Mungkin manusia memang tempatnya salah.
Dan aku mengharapkan sesuatu yang terlalu sempurna.
Mungkin pula sebenarnya kami tidak seberbeda itu. Aku saja yang terlalu banyak berpikir jauh. Aku belum mampu memahaminya.
Apakah hal yang kuminta, terlalu berat?
Pantaskah aku memintanya?
Begitu berartinyakah diriku bagi seseorang untuk memahaminya, dan mengabulkannya?
Dulu aku tak pernah berharap.
Dan kini, aku takut.
Sembari menulis ini aku juga sadar. Ternyata aku ini idealis tingkat akut.
Maafkan.
Senin, 09 September 2019
field mice
A nice funfact I discovered today :
Field mice likes to seek pollen in flowers and fall asleep in them!
It's so cute.



Field mice likes to seek pollen in flowers and fall asleep in them!
It's so cute.




Langganan:
Postingan (Atom)